Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan narkotika di Indonesia yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002 tanggal 22 Maret 2002, menyatakan bahwa masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dan bahkan telah sampai pada batas yang mengkhawatirkan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Kepala BNN dalam makalah Permasalahan Narkoba di Indonesia dan Penanggulangannya (2003)lebih jauh menyampaikan pula bahwa Indonesia saat ini bukan hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkoba, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi tempat produksi narkoba. Data tersangka dan kasus dari tindak pidana ini sejak tahun 1998 hingga bulan Maret 2003 mencatat kenaikan sebagai berikut : 1) Tahun 1998 total kasus 999 dengan jumlah tersangka 1308, 2) Tahun 1999 sebanyak 1833 kasus dan 2590 tersangka, 3) Tahun 2000 sebanyak 3478 kasus dan 4955 tersangka, 4) Tahun 2001 sebanyak 3617 kasus dan 4924 tersangka, 5) Tahun 2002 sebanyak 3751 kasus dan 5310 tersangka, dan 6) Tahun 2003 (sampai dengan Maret) sebanyak 783 kasus dan 1098 (tersangka).
Mencermati data-data tersebut, tidak mengherankan apabila United Nations Drugs Control Programme (UNDCP) memberi gambaran masalah narkotika di Indonesia dengan warna kuning, sedangkan masalah psikotropika digambarkan dengan warna merah. Makna dari warna kuning adalah suatu negara berada pada peringkat kedua, sedangkan warna merah mengandung makna peringkat pertama atau telah mencapai kondisi yang sangat serius.
Meskipun Indonesia telah memiliki produk hukum pertama yang mempidanakan penyalahgunaan narkotika pada tahun 1976 dengan disahkannya Undang-undang No. 9 Tahun 1976, Undang-undang tersebut belum melakukan kriminalisasi atas perbuatan menyembunyikan, mengaburkan dan menyamarkan hasil kejahatan peredaran gelap narkoba. Dengan demikian, Undang-undang No. 7 Tahun 1976 maupun Undang-undang No. 22 Tahun 1997 yang merupakan produk hukum terakhir belum merespons issue-issue internasional sebagaimana dimuat dalam Vienna Convention 1988.
Padahal perputaran uang dari bisnis haram ini di Indonesia tercatat sangat mencegangkan. BNN menyampaikan bahwa jumlah uang yang terlibat dalam peredaran gelap narkoba mencapai Rp 300 triliun per tahun, suatu angka yang fantastis, terutama apabila dibandingkan dengan APBN kita yang hanya berjumlah sekitar sebesar Rp 315 triliun setahun. Namun, angka tersebut sesungguhnya tidak terlalu mengherankan apabila kita melihat bahwa pangsa pasar bisnis haram narkoba saat ini sudah merambah kepada para pemakai muda di tingkat pendidikan sekolah dasar. Data Polda Metro Jaya, mengungkapkan bahwa dalam lima bulan terakhir, antara Januari sampai Mei 2003, di Jakarta Utara sudah ditangkap 30 pelajar SD yang menggunakan obat-obatan berbahaya itu (Kompas, 13/5).
Melihat fakta permasalahan yang sangat kompleks, nampaknya tak ada pilihan lain bagi kita untuk terus meningkatkan upaya nasional memerangi kejahatan ini baik secara komprehensif dan multidimensional dengan antara lain melakukan penegakan hukum secara tegas, konsisten dan sungguh-sungguh, serta meningkatkan kegiatan preventif untuk mengungkap dan memutus jaringan sindikat peredaran gelap narkoba baik nasional dan internasional.
Namun demikian, Indonesia merupakan negara peserta dan penandatangan Single Convention on Narcotics Drugs 1961 dan Vienna Convention 1988. Keikutsertaan Indonesia dalam konvensi-konvensi di atas sangat bermanfaat untuk menunjukkan kepada masyarakat dalam dan luar negeri adanya political will yang kuat dari Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan peredaran gelap narkoba.
Selasa, 31 Maret 2009
Upaya Indonesia Memerangi Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Upaya Indonesia Memerangi Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba”
Posting Komentar