Bidvertiser

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 12 April 2009

Reaktualisasi Supremasi Hukum Pasca Reformasi ( Dalam Perspektif Hukum Pidana )

Semenjak reformasi bergulir, supremasi hukum menjadi isu penting, disamping isu-isu populer lainnya seperti demokratisasi dan Hak Azasi Manusia (HAM). Oleh karena itu pembahasan mengenai supremasi hukum dalam konteks kekinian tidak akan lengkap tanpa menyinggung tentang gerakan reformasi yang amat fenomenal itu.
Gerakan reformasi yang mencuat sejak tahun 1998 lalu, menuntut berbagai pembaharuan dan perbaikan-perbaikan di segala sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lainnya. Karena tuntutannya bersifat komprehensif dan integral itulah maka reformasi yang diinginkan dipertegas dengan istilah reformasi total.

Penegakan supremasi hukum mengemuka sebagai wujud tuntutan reformasi di bidang hukum.
Kini, setelah hampir tiga tahun berlalu semenjak berbagai tuntutan reformasi dikumandangkan, pantas untuk dipertanyakan, apakah perubahan-perubahan mendasar yang diinginkan itu telah terjadi di Indonesia. Secara khusus di bidang hukum, layak dipertanyakan sejauh mana penegakan supremasi hukum di negeri ini telah dapat direalisasikan.
Bila diamati dengan seksama, nampak bahwa perubahan-perubahan mendasar sebagaimana yang dituntut dalam gerakan reformasi itu belum terjadi. Adanya perubahan-perubahan elementer, sementara perubahan substansial belum ada. Sebagian pengamat politik bahkan berani menyatakan bahwa reformasi jalan di tempat. Sebagian yang lain mengatakan bahwa para pejuang reformasi telah kehabisan energi. Memang patut untuk dihargai bahwa di bidang politik telah terjadi proses demokratisasi, sekurangkurangnya dengan telah dibukanya kebebasan untuk berserikat dan kebebasan menyampaikan pendapat, sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18. Namun tanpa disertai dengan adanya pendidikan politik yang memadai bagi rakyat Indonesia, terbukti bahwa pintu kebebasan yang dibuka sebagai wujud demokratisasi ternyata menimbulkan berbagai ekses negatif. masyarakat dari berbagai elemen bangsa, terkesan bisa berbuat semaunya dengan dalih demokrasi. Pada periode awal pasca reformasi, kita masih dapat berlindung dibalik argumentasi ‘euforia’. Namun setelah hampir tiga tahun berlalu, setelah tiga kali berganti pemerintahan, dari Habibie, Gus Dur dan Megawati, masih pantaskah menyebut berbagai instabilitas yang terjadi di bumi pertiwi ini dengan sekedar menganggapnya sebagai efek euforia. Demokratisasi yang mulai berjalan ternyata harus dibayar dengan harga begitu mahal, terutama dengan munculnya berbagai tindakan warga masyarakat yang mencerminkan runtuhnya supremasi hukum. Fenomena main hakim sendiri (eigenrechting) justru marak terjadi pada saat bangsa ini menggebu memperjuangkan tegaknya supremasi hukum.
Mengingat fungsi hukum sebagai alat untuk menciptakan ketertiban masyarakat, mewujudkan keadilan, serta alat untuk menciptakan perubahan sosial (law as a tool of social engineering), maka tegaknya supremasi hukum menjadi prasyarat untuk melakukan reformasi di segala bidang kehidupan. Kenyataan membuktikan bahwa, semenjak reformasi bergulir dan dengan terbukanya pintu kebebasan bagi warga masyarakat, pelecehan terhadap hukum masih tetap merajalela. Pelecehan terhadap hukum tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saja tetapi bahkan oleh aparat penegak hukum yang mestinya menjadi pelopor penegakan supremasi hukum.
Reaktualisasi

Comments :

0 komentar to “Reaktualisasi Supremasi Hukum Pasca Reformasi ( Dalam Perspektif Hukum Pidana )”